KORUPSI MENGANCAM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MISKIN



1.               Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik dan menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalah gunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan tugas penggelapan uang negara atau perusahaan untuk keuntungan pribadi maupun orang lain. Dalam ilmu akuntansi, korupsi adalah bagian dari kecurangan (fraud) namun secara operasional istilah korupsi lebih terkenal dibandingkan kecurangan. Kecurangan adalah segala cara yang dapat dilakukan orang untuk berbohong, menjiplak, mencuri, memeras, memanipulasi, kolusi dan menipu orang lain dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, kelompok lain dengan cara melawan hukum. Sedangkan, menurut pasal 435 KUHP, korupsi berarti busuk, buruk, bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan kedalam kejahatan White Collar Crime. Dalam praktek Undang-undang yang bersangkutan, korupsi adalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung merugikan keuangan negara atau perekonomiaan negara.
Selain itu, adapun pendapat para ahli mengenai korupsi, seperti halnya
a.       Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi serta merugikan kepentingan umum.
b.      Menurut Suradi,S.E., korupsi adalah tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang mencakup terjadinya penyuapan, konflik kepentingan, pemaksaan yang bersifat ekonomi serta adanya pemberian yang tidak sah.
c.       Menurut Dieter Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa, Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar hutang suatu negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang.
d.      Menurut Huntington, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
e.       Menurut Jeremy Pope, korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatinan semua orang.
f.       Heddy Shri Ahimsha-Putra menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.
Apapun pengertiannya, inti atau pokok dari pernyataan yang diungkapkan oleh para ahli tersebut mempunyai kesamaan maksud yaitu  tindakan korupsi merupakan perbuatan yang buruk dan merugikan orang lain, negara bahkan dirinya sendiri.
Praktik korupsi adalah tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang biasanya disejajarkan dengan konsep pemerintahan totaliter atau diktator yang meletakkan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang demokratis, tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah. Apabila kehidupan sosial-politik dalam suatu negara memberikan  tolerasi dan ruang terhadap praktek korupsi, maka tindakan korupsi akan merajalela.
2.               Ciri-ciri Korupsi
            Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan beberapa ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut
1.    Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Pelaku korupsi biasa tidak bekerja sendiri tetapi mereka akna saling bekerja sama dan saling menutupi tindak korupsinya sehingga dalam mengendusan terhadap tindakan mereka dapat ditangani.
2.       Korupsi pada umumnya melibatkan keserba rahasiaan. Hal ini karena sifat korupsi. sendiri yang merupakan tindakan buruk dan dapat mencoreng nama baiknya sebagai pemimpin maupun keluarga atau partai yang ia geluti sehingga tindakan korupsi harus ia tutupi untuk menjaga nama baik dan mengindari hukuman.
3.       Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Seperti menyelewengkan tugas dan mengkhianati kesepakatan.
4.       Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum
5.       Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6.       Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
7.       Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
8.       Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
9.       Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam masyarakat.

3.               Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adanya Tindakan Korupsi
Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
a.    sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan
b.       belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.

Sedikit berbeda dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi
1)      Greeds (keserakahan) yang berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
2)      Opportunities (kesempatan) yang berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
3)      Needs (kebutuhan) yang berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
4)      Exposures (pengungkapan) yang  berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan pihak korban. Sedangkan, faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi dan masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
          Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, dan kurang kontrol).
        Lain lagi yang dikemukakan oleh OPSTIB Pusat, Laksamana Soedomo yang menyebutkan ada lima sumber potensial korupsi dan penyelewengan yakni proyek pembangunan fisik, pengadaan barang, bea dan cukai, perpajakan, pemberian izin usaha, dan fasilitas kredit perbankan. Dan menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu
a.    Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
b.   Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri
c.    Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain
1. Aspek Perilaku Individu
            Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras dan ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
            Dalam teori kebutuhan Maslow, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan dalam bertahan hidup, namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi.
            Pola-pola penyimpangan yang terjadi biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor, pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan keluarganya serta biaya pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi.

2. Aspek Organisasi Kepemerintahan
            Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi.
            Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai dan manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

3. Aspek Peraturan Perundang-undangan
            Tindakan korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik, kecenderungan menguntungkan orang-orang kaya dan para pejabat, kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, peraturan-peraturan kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu serta lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan selama ini. Beberapa ide strategis telah dibentuk oleh pemerintah untuk menanggulangi kelemahan ini diantaranya adalah dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.

4. Kurangnya Pengawasan
            Pengawasan yang dilakukan instansi terkait kurang efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesionalisme pengawas, kurang adanya koordinasi antar pengawas dan  kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Tidak jarang para pengawas juga terlibat dalam praktik korupsi. Belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah. Dengan demikian, dapat menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
            Secara umum, pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat).

4.               Dampak yang Muncul Akibat Adanya Tindakan Korupsi di Indonesia
Tindakan korupsi tidak akan menghasilkan pengaruh positif apapun, bahkan menimbulkan banyak masalah. Telah kita ketahui bahwa tindakan korupsi merupakan perbuatan yang merugikan negara, orang lain, keluarga bahkan si pelaku sendiri. Tindakan korupsi lebih kriminal dari pada tindakan pencurian. Hal ini karena pencurian biasanya yang terkena dampak adalah orang-orang yang dicuri barangnya, sedangkan tindak korupsi yang mengalami kerugian  adalah seluruh waga negara. Dan korupsi juga hampir sama sadisnya dengan pembunuhan, tetapi tindakan korupsi membunuh dengan merampas hak rakyat, sehingga muncullah kemiskinan, kurangnya sarana dan prasarana yang baik, masalah pendidikan, turunnya harga dan martabat negara dan sebagainya. Berikut sebagian dampak negatif yang muncul akibat adanya tindakan korupsi di Indonesia

a. Demokrasi
            Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan pada pembentukan kebijaksanaan. Kemudian korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

b. Ekonomi
            Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor prifat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru. Dan muncul pula kesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
            Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

c. Kesejahteraan Umum
            Negara Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

5.               Contoh Kasus Korupsi yang Telah Terjadi Selama Masa Jabatan SBY Sebagai Presiden
1.   Artalyta Suryani (Ayin)
            Artalyta Suryani alias Ayin adalah wanita pengusaha yang telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan sehingga diganjar hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 250.000.000,00,-. Artalyta Suryani terbukti sebelum ditetapkannya SP3 terhadap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Urip Tri Gunawan yang pada saat itu menjadi Ketua Tim Penyidik kasus BLBI. Dari pertemuan-pertemuan dan pembicaraan lewat telepon antara Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan, Arthalyta Suryani meminta Urip Tri Gunawan melaporkan setiap perkembangan pemeriksaan kasus BLBI yang menyangkut Direktur BDNI Sjamsul Nursalim. Selain itu, ia juga terbukti telah menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar US$ 660 ribu atau setara dengan Rp 6.000.000.000,00,- (enam milyar rupiah). Hal itu dilakukan Artalyta untuk kepentingan obligor BLBI Sjamsul Nursalim.
            Dari keterangan saksi dan bukti yang diajukan ke muka persidangan majelis menyatakan telah terbukti bahwa Artalyta dan Jaksa Urip Tri Gunawan telah mengatur strategi agar Sjamsul Nursalim tidak dihadirkan dalam pemeriksaan dengan alasan sakit. Dengan pertimbangan tersebut maka Artalyta telah terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU 31/1999.

2. Bank Century
            Pada tanggal 29 September2009, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi laporan sementara hasil audit interim investigas BPK atas Bank Century. Dari laporan sementara ini, Komisi XI DPR (Keuangan dan Perbankan) telah mengadakan rapat tertutup mempelajari laporan tersebut. Karena masih jauh dari sempurna, Komisi XI DPR meminta agar BPK menyelesaikan audit investigasi secara menyeluruh dalam waktu sesingkat-singkatnya, terutama  agar BPK melakukan pemeriksaan aliran dana dalam kasus Bank Century karena sama sekali belum dilaporkan oleh BPK.
            Meski masih dalam bentuk laporan sementara, Harry Azhar Aziz, anggota Komisi XI DPR menyatakan bahwa terungkap ada indikasi Pejabat Bank Indonesia (BI) melakukan penyalah gunaan wewenang (abuse of power) terkait kasus upaya penyelamatan Bank Century dengan pengucuran dana Rp 6,7 triliun. Di tempat yang sama, Anggota Komisi XI Drajad Wibowo menjelaskan ada manipulasi ketentuan pengucuran Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank umum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang keluar dari Bank Indonesia (BI) pada saat penggalangan dana Bank Century.
            Manipulasi tersebut dapat dilihat dari perubahan kebijakan mengenai FPJP yakni batas rasio kecukupan modal (Capital Adequate Ratio/CAR) yang semula dibatasi 2 persen berubah menjadi hanya positif saja. Hal ini mengakibatkan pembengkakan dana talangan yang dikucurkan ke Bank Century dari sebelumnya Rp 632 miliar menjadi Rp 6,76 triliun.
`           Dan melalui hasil laporan BPK atas audit investigasi penyelamatan PT Bank Century Tbk tersebut, diketahui pula bahwa Bank Indonesia melakukan banyak kesalahan, salah satunya adalah pengawasan BI yang terlalu lemah. Salah satu permasalahan yang diungkap dalam laporan adalah soal kredit fiktif di Bank Century. Bank Indonesia dalam laporannya ke Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) tidak menjelaskan secara gamblang kedit fiktif itu. Akibatnya, terjadi penilaian salah, sehingga alih-alih Menkeu Sri Mulyani sebagai ketua KSSK bersama Boediono dan ketua LPS menyelamatkan Bank Century. Selain itu, terjadi pembengkakan akibat penyelamatan dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,67 triliun.
            Berdasarkan analisis dari anggota Komisi XI DPR yang membidangi Keuangan dan Perbankan, maka selaku pimpinan BI, Boediono secara tidak langsung melakukan penyalahgunaan wewenang. BI telah memberi keterangan yang belum pasti atas kondisi Bank Century. Justru dengan keterbatasan pengawasannya (kredit dan deposan fiktif), BI alih-alih menyelamatkan Bank Century. Setelah diselamatkan, lagi-lagi terjadi aliran secara besar-besaran berjumlah Rp 5.6 triliun selama kurun November-Desember 2008.
            Berdasarkan berbagai analisis yang berkembang, maka para pejabat yang ikut terlibat dalam kasus Bank Century adalah  deposan fiktif Bank Century, manajemen Bank Century, KSSK dan LPS.

3.  Skandal Gayus Tambunan
            Gayus Tambunan yang memiliki nama lengkap Gayus Halomoan Partahanan Tambunan adalah mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Indonesia. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya ditambah uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai hasil dari korupsi. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.
            Gayus Tambunan adalah salah satu koruptor  yang menjadi sorotan tajam publik, rekayasa guna melindungi sejumlah petinggi di jajaran Kepolisian berlangsung secara sistemik. Bukti yang sulit dibantah upaya melokalisasi keterlibatan polisi sampai perwira menengah saja. Padahal, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan 500.000 dollar AS untuk perwira tinggi polisi untuk membuka blokir rekening atas namanya.
            Dengan kondisi itu, sulit mengharapkan peran Kepolisian menyelesaikan skandal Gayus. Kehadiran Gayus menyaksikan kejuaraan tenis di Bali, menambah rusaknya legitimasi polisi untuk menyelesaian skandal ini. Diberitakan pula bahwa semua fasilitas dan kemudahan yang didapatkan Gayus selama masa tahanan diperoleh dengan melakukan tindak pidana suap ke sejumlah polisi di rutan.
            Dengan hilangnya kepercayaan terhadap Kepolisian, maka untuk menuntaskan kasus Gayus, tak cukup apabila KPK hanya sebatas melakukan supervisi. Merujuk pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, langkah konkret yang harus dilakukan adalah mengambil alih penyelesaian skandal Gayus. Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan ”KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian”. Dengan dasar itu, siapa pun tak dapat mencegah KPK mengambil alih penyelesaian skandal pajak Gayus.
            Terdapat kecenderungan guna melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. Kecenderungan ini dapat dilihat dari adanya upaya mengalihkan rekening tak wajar Gayus yang mencapai Rp. 80 miliar. Yang kemudian menjadi kasus PT Surya Alam Tunggal dengan jumlah kerugian negara yang hanya diberitakan sebesar Rp 570.952.000,00,-
            Potensi kerugian negara dari PT SAT itu tidak sampai “seujung kuku” dari keseluruhan jumlah rekening dan safe deposit box Gayus. Strategi mengalihkan tindak pidana utama ke kasus PT SAT hampir pasti ditujukan untuk menutup upaya membongkar asal-muasal uang yang masuk ke rekening Gayus. Dengan logika sederhana, jika asal-usul uang Gayus didalami, pasti akan sampai ke perusahaan-perusahaan besar yang pernah menerima keahlian Gayus. Misalnya, ia mengaku menerima 3 juta dollar AS dari tiga perusahaan besar: Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources, Perusahaan-perusahaan tersebut adalah Milik Aburizal Bakrie, ketua Umum Golkar, sekaligus Ketua Harian Sekretariat Bersama Pemerintahan SBY.
            Dalam kasus ini, tim independen bentukan Mabes Polri sudah menetapkan delapan tersangka. Mere­ka adalah Komisaris Arafat dan Ajun Komisaris Sri Sumartini, penyidik kasus penggelapan pajak Gayus. Ada pula Hoposan Hutagalung, pengacara Gayus, dan Lamberius Palang Ama, peng­acara Anrii Kosasih. Selain itu, Arif Kuncoro, Gayus Tambunan, Andi Kosasih, dan Syahril Johan, juga jadi tersangka. Akhirnya, pada tanggal 19 Januari 2011, Gayus Tambunan telah dinyatakan bersalah atas kasus korupsi dan suap mafia pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan dengan hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta.

4. Kasus Nazaruddin
            Kasus suap Wisma Atlet di Palembang ikut menyeret Nazaruddin sebagai tersangka sampai saat ini masih terbatas pada tiga tersangka yang sudah memasuki persidangan. Mereka adalah Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo, Rosalina Manulang, Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris, dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. Selain itu, Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, anggota DPR Angelina Sondakh dan Minvan Amir (Partai Demokrat) serta I Wayan Koster (PDIP) juga ikut menjadi sorotan.
            Dan penyelesaian kasusnya masih berlangsung sampai sekarang.

6.               Upaya-upaya Pemerintah dalam Menangani Kasus korupsi
            Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
            Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat adalah mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
            Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun.
            Selain lembaga internal dan eksternal,Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).

7.               Tingkat Keberhasilan Kebijakan Pemerintah Dalam Menuntaskan Kasus Korupsi
            Kasus korupsi di Indonesia adalah salah satu kasus tentang masalah kenegaraan yang banyak mendapatkan perhatian dari publik. Beberapa dari kasus korupsi yang pernah dimuat oleh media sering kali menjadi acuan masyarakat untuk menilai sejauh mana tingkat keberhasilan pemerintah dalam menuntaskan kasus korupsi.
            Dalam kurun waktu  beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia mulai menunjukkan langkah maju dalam pemberantasan korupsi. Sejumlah kasus korupsi telah diadili dan publik juga melihat  beberapa koruptor telah mendekam di penjara. Penegakan hukum dalam kasus korupsi mulai berjalan.
            Publik juga melihat bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi telah menunjukkan taringnya dan menjelma menjadi lembaga yang ditakuti.  Diawali dengan kasus korupsi Abdullah Puteh, KPK terus menuai prestasi. Seluruh kasus yang dituntut oleh KPK berakhir dengan vonis penjara. Bahkan dalam kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum, KPK juga menangkap basah Mulyana Kusumah saat hendak menyuap auditor BPK. Model penggerebekan dalam kasus korupsi ini merupakan sesuatu yang baru dilakukan oleh penegak hukum di Indonesia.
            Pada saat yang sama,  Kejaksaan Agung juga mulai menunjukkan keberhasilan. Dengan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor), sejumlah kasus mulai diusut oleh Kejaksaan Agung. Sejumlah kasus korupsi di BUMN telah dilimpahkan ke pengadilan. Meskipun dalam kasus Bank Mandiri terdakwa bebas, dalam kasus lain, seperti kasus dana haji yang melibatkan mantan Menteri Agama, Kejaksaan Agung berhasil memenangkan perkaranya.
            Kerja keras dan inisiatif pemberantasan korupsi juga dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR telah meratifikasi United Convension Against Corruption (UNCAC) yang menjadi standar dalam pemberantasan korupsi. DPR juga telah mulai membahas RUU Perlindungan Saksi dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi yang "ditelantarkan" oleh DPR periode sebelumnya.
            Adanya kemajuan dalam  penegakan hukum juga dilihat dan diapresiasi oleh dunia internasional. Salah satu bukti adalah peningkatan indeks persepsi korupsi berdasarkan survei Transparency International. Indeks Indonesia meningkat menjadi 2.2 dan berada di peringkat 140 dari total 159 negara yang disurvey.  Meskipun kenaikannya sangat kecil, paling tidak Indonesia bukan juara korupsi di Asia. Indonesia kini lebih baik dibandingkan negara lain di Asia seperti Bangladesh, Myanmar dan Pakistan.
            Namun, semangat pemerintah dalam pemberantasan korupsi itu kini mulai kendor.  Bahkan, pemerintah telah dituding melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Tudingan itu terutama dimunculkan oleh aktivis partai politik, yang dipicu oleh banyaknya anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi.
            Tudingan tebang pilih juga diperkuat dengan kegagalan pemerintah menuntaskan kasus korupsi yang besar, seperti halnya kasus Soeharto. Jaksa Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) dalam kasus korupsi dengan terdakwa mantan Presiden Soeharto. Meskipun berbagai kasus korupsi telah diusut, kasus Soeharto tetap menjadi ukuran keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Adanya sanksi hukum bagi Soeharto merupakan ukuran apakah pemerintah benar-benar serius memberantas korupsi atau sekedar lip service belaka. Ditambah lagi dengan kenyataan sejumlah kroni dan keluarga Soeharto yang diduga terlibat dalam kasus korupsi belum tuntas kasusnya.
            Kasus-kasus lain yang menjadi catatan adalah korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).  Alih-alih menegakkan hukum, pemerintah justru memberikan kelonggaran bagi penunggak kasus BLBI yang hingga kini belum meluasi kewajibannya. Sampai sekarang juga belum ada kebijakan untuk menyelesaikan BLBI.  Padahal kebijakan pemerintah untuk membebaskan tuntutan pidana bagi  mereka yang dianggap "melunasi" BLBI juga menimbulkan ketidakadilan dan bertentangan dengan hukum positif kita. 
           Kendornya semangat pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga tampak dari diskriminasi penegakan hukum oleh Kejaksaan. Pada kasus korupsi yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, seperti kasus DPRD di daerah-daerah, hingga kini belum semua dieksekusi.  Bahkan banyak tersangka yang menjadi "ATM" penegak hukum.
           Hingga yang terbaru adalah skandal century,  yang berlarut-larut dan belum menemukan titik pasti dalam penyelesaiannya. Di susul kasus Gayus Tambunan yang tidak semua pelakunya mendapat perilaku hukum yang tegas. Gayus tidak mendapatkan perlakuan hukum yang tegas sesuai dengan perilaku yang telah dibuatnya. Ia malah terlihat bebas untuk keluar masuk jeruji sel bahkan, pernah diberitakan berlibur ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Selain itu, masih banyak kasus lainnya seperti masalah Antasari dan Nazaruddin yang juga kurang memuaskan publik dalam penyelesiannya.
            Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengemukakan bahwa Indonesia menghadapi bahaya penumpukan kasus  korupsi. Hal ini karena berbagai kasus penyelewengan keuangan negara itu, terus menumpuk tanpa penyelesaian berarti. Sejak 2008 pemberantasan korupsi dinilai gagal.
           Dalam penilaian PuKAT, selama 2010, Indonesia gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi. Kegagalan itu tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tahun sebelumnya. Sejak 2008 hingga sekarang pemberantasan korupsi tidak berubah dan dapat dikatakan gagal.
           Bila tidak ada perubahan dalam pemberantasan korupsi, dikhawatirkan ke depan, bangsa Indonesia menghadapi bahaya yang sama. Berbagai kasus korupsi akan terus menumpuk tanpa ada penyelesaian.
           Perubahan dalam pemberantasan korupsi tidak akan terjadi menjadi lebih baik jika lembaga Polri, Kejaksaan Agung dan lembaga penegak hukum lainnya tidak membuat perubahan. Sampai saat ini, persoalan utama dalam mengusut kasus korupsi, yakni kemampuan dan kemauan yang tidak pernah ada dan jelas pada lembaga-lembaga terkait.
           Selama ini, belum ada aksi nyata dan terobosan dari aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga-lembaga penegak hokum semakin rendah.
           Bukan hal yang mudah untuk memberantas korupsi di Indonesia yang sudah mengakar dan sistemik.salah satu yang diperlukan dalam pemberantasan korupsi adalah konsistensi Presiden.  Untuk menguji konsistensi Presiden, ada beberapa hal yang dilakukan.
           Pertama, Presiden harus mampu menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar. Sudah seharusnya hukum ditegakkan karena mereka yang melakukan tindak korupsi  tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menjadi “batu sandungan” pemerintah yang dituding diskriminatif dan tebang pilih.
           Kedua, Presiden harus mampu memimpin pemberantasan korupsi dan memonitor secara terus-menerus kinerja birokrasi dalam memberantas korupsi.
            Ketiga, sudah saatnya Presiden menentukan prioritas dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum bukan tujuan. Tujuan akhir dari perang melawan korupsi adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat dan menguatnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintah.

8.               Peraturan yang Mengatur Tentang Hukum Pidana Korupsi di Indonesia
            Indonesia mempunyai instrumen hukum yang secara eksplisit menggunakan istilah korupsi dalam pasal-pasalnya. Dalam hal ini beberapa peraturan perundangan yang telah berlaku antara lain
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 21 dan pasal 5 (ayat 1)
2.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
3.      Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998
4.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN
5.      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.      Dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
8.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
9.      Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

9.               Penanganan Kasus Korupsi di Negara Lain
            Dalam pemberantasan tindak korupsi membutuhkan waktu yang tidak singkat. Bandingkan dengan Singapura dan Hong Kong yang kini dikenal dengan negara yang memiliki tingkat adanya kasus korupsi terendah di dunia. Singapura mulai memberantas korupsi pada tahun 60-an, sementara Hong Kong sudah melancarkan pemberantasan korupsi sejak awal tahun 70-an. Bila kedua negara itu dianggap bersih dari korupsi, itu karena kerja keras dan konsistensi hingga kini.
           Adapun China dan Thailand merupakan contoh negara yang mengesankan dalam mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui kemauan politik yang  tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. Selama satu dasawarsa terakhir China melancarkan perang besar dengan korupsi. Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktek korupsi di kalangan pejabat. Sementara, Thailand juga melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi dan hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS hutangnya.
           Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas antara lain
1.      Tindakan korupsi merupakan perbuatan yang buruk dan merugikan orang lain, negara bahkan si pelaku sendiri.
2.      Tindakan korupsi memiliki karakteristik atau ciri-ciri tertentu
3.      Tindakan korupsi timbul karena adanya kelemahan dalam peraturan, kesekahan dan adanya kesempatan.
4.      Dampak dari adanya tindak korupsi antara lain dapat merusak perekonomian negara, demokrasi dan kesejahteraan umum.
5.      Kebijakan yang dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah masih kurang memuaskan
6.      Penanganan kasus korupsi di negara lain yang cukup berhasil yaitu Singapura, Hong Kong, China dan Thailand.

Komentar